ASSALAMU A'LAIKUM WARAHMA TULLAH.. MUGA CERIA BAHAGIA, DISAMPING YANG TERSAYANG.. YANG TERCINTA.. AMIN..


Sunday, 4 June 2017

Pesanan Seorang Ulama..

Jangan sebarkan fikrah nanti akan berlaku bertentangan fikrah.

Jangan sebarkan mazhab nanti akan berlaku bertentangan mazhab.

Jangan sebarkan satu aliran ilmu nanti akan berlaku bertentangan ilmu yang lain.

Jangan sebarkan amalan nanti akan berlaku bertentangan amalan yang lain.

Jangan sebarkan idealogi nanti akan berlaku bertentangan idealogi yang lain.

Jangan sebarkan perguruan nanti akan berlaku bertentangan dengan perguruan yang lain.

Jangan sebarkan kumpulan nanti akan berlaku bertentangan dengan kumpulan yang lain.

Jangan sebarkan 'jenama', 'bentuk' atau 'nama' tertentu kerana seringkali berlaku bertentangan antara jenama, bentuk dan nama yang lain. Sebarkanlah nur dan satukanlah nur walau di kita mana berada tanpa mengira aliran ilmu, perguruan, amalan, idealogi, fikrah, kumpulan, nama, bentuk dan lain-lain. Bawa insan bukan kepada jenama atau kumpulan tapi kepada ingat, rasa dan pandang kepada Allah yang kelak melahirkan jiwa faqir, penuh kasih sayang, memiliki adab-adab hamba yang mulia serta cinta kepada perjuangan menegakkan Salaman demi membina kembali kekuatan dan kebangkitan Islam.

Tidak perlulah meributkan perbezaan kerana jika kita bersatu, perbezaan justru membuatkan kita menjadi lebih indah.

Lupa Bersyukur.

"Kita sering menjadikan sebuah ungkapan syukur hanya sebatas kata-kata. Sebuah ceremonial kecil yang apabila kita telah mengucapkannya, maka itu sudah selesai.

Bila kita mau merasakan lebih dalam, tidak sesederhana itu. Banyak sekali tindakan baik kita yang berhenti di kata-kata.

Belum sempat menjadi tindakan, tidak ada waktu mewujudkan, atau mungkin justru lupa bahwa melakukannya jauh lebih penting daripada mengucapkannya.

Kita memiliki kesempatan-kesempatan yang luar biasa. Kita lupa bersyukur untuk menggunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya.

Kita memiliki teman-teman yang luar biasa, dan kita lupa mensyukurinya dengan menjaga hubungan pertemanan itu dengan sebaik-baiknya.

Kita memiliki akses pendidikan yang mudah, kita lupa mensyukurinya dengan sekolah dengan sebaik-baiknya.

Kita memiliki orang tua yang paling tepat untuk kita, kita lupa bersyukur untuk senantiasa mendoakannya hari ini.

Kita bisa beribadah dengan tenang di negeri ini, kita lupa mensyukurinya dengan beribadah sebaik-baiknya.

Kita memiliki waktu shalat dengan sebaik-baiknya, kita lupa mensyukurinya dengan mendoakan shalat kita semoga diterima. Kita juga lupa untuk mensyukurinya dengan shalat diawal waktu.

Kita memiliki ilmu yang sedemikan rupa dan kita lupa mensyukurinya dengan mengajarkannya kepada orang lain. Kita simpan sendiri.

Kita hari ini, berdiri disini, bertemu dengan orang-baru dan kita lupa mensyukurinya dengan mulai membangun silaturahmi, bukan menunggu orang lain menyambung terlebih dahulu."

Kaya.

Apabila manusia meletakkan definisi kekayaan sebagai rumah mewah, kereta besar dan harta, maka apabila mereka tidak memiliki kesemua itu, mereka berasa miskin.
 

Hakikatnya, kekayaan paling besar ada pada diri manusia iaitu tubuh yang Allah jadikan `fi ahsani taqwim` (dalam bentuk yang terbaik) (95:4).
 

Perumpamaannya, ibarat kita diberikan sebuah kereta mewah berharga jutaan ringgit secara percuma, tapi dengan syarat, kedua-dua kaki kita lumpuh. Semestinya kereta mewah tadi sudah tiada nilainya pada diri kita. Hakikatnya kekayaan tubuh kita nilaiannya melebihi jutaan ringgit. Setiap nikmat  itulah yang paling termahal dan tidak ternilai.

Maka gunakanlah setiap nikmat sebaik-baiknya.  Semoga Allah mengekalkannya di jalan cahaya. Sempurna. Agar kelak, tangan dan kaki bahkan seluruh anggota boleh berbicara yang indah-indah kepada Tuhan.
 

Amin.Amin.Amin Ya Rabb.

Yang Dikaburi.

Orang yang bertauhid bukan yang paling banyak ibadahnya. Syaitan pernah menjadi makhluk Tuhan yang paling banyak beribadah, namun akhirnya tenggelam dalam kesyirikkan kerana gagal meruntuhkan berhala ke`aku`an dalam dirinya. Melihat dirinya hebat dengan ibadah-ibadah yang dilakukannya.

Hakikatnya, orang yang bertauhid ialah yang `mengosongkan' dan `menghilangkan` pandangan dirinya, dan melihat segalanya kerana Allah Azza Wajjala. Tidak akan ada insan yang  mampu beribadah, seandainya bukan atas kudrat dariNya.

Maka pandanglah apa jua dari Allah, dengan Allah, dan hiduplah untuk Allah. Dengan pandangan itulah, akan hilang perasaan `wujud diri` seperti perasaan kesombongan, keakuan dan rasa `miliki`.
 

"Punca sombong adalah apabila kita rasa kita `memiliki sesuatu`. Sebab itulah Rasulullah mengajarkan para sahabat selama 13 tahun untuk sucikan syirik `rasa milik diri` kepada `segalanya milik Allah` sebelum datangnya seruan menunaikan segala ibadah syariat (solat, puasa, zakat, dll)"
 

`Berhala dalam diri`,  itulah syirik yang bahaya tapi dikaburi.
 

 "Apakah makna berdiri dalam solat.. Apakah makna Ruku dan Sujud.. Apakah makna bacaan Al-Fatehah dan tasbih jika engkau melihat segala darimu bukannya dari Kudrat dan Kasih Sayang dariNya.. Maka tika tu engkau tergelincir dalam kesyirikan yang amat hina menduakan sifat kekuasaan  antara mu dengan Tuhan Mu" Allahu Akbar


Wednesday, 31 May 2017

Bila Malu Sudah Tiada





Malu merupakan salah satu sifat terpuji yang bisa mengendalikan orang yang memilikinya dari perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا

Malu Sebagian Dari Iman Hadits Tentang Malu Iman Dan Malu

Hadist Tentang Malu Hilangnya Rasa Malu

Malu merupakan salah satu sifat terpuji yang bisa mengendalikan orang yang memilikinya dari perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ

“Rasa malu itu hanya mendatangkan kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Imron bin Hushain)

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ قَالَ أَوْ قَالَ الْحَيَاءُ كُلُّهُ خَيْرٌ

Rasulullah bersabda, “Rasa malu adalah kebaikan seluruhnya atau rasa malu seluruhnya adalah kebaikan.” (HR. Muslim) 


Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Iman itu terdiri dari 70 sekian atau 60 sekian cabang. Cabang iman yang paling utama adalah ucapan la ilaha illalloh. Sedangkan cabang iman yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari tempat berlalu lalang. Rasa malu adalah bagian dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Suatu ketika Nabi menjumpai seorang yang sedang mencela saudaranya karena dia sangat pemalu, Nabi lantas bersabda, “Biarkan dia karena rasa malu itu bagian dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menurut penuturan Imam Ibnul Qoyyim, alhaya’ (rasa malu) diambil dari kata-kata hayat (kehidupan). Sehingga kekuatan rasa malu itu sebanding lurus dengan sehat atau tidaknya hati seseorang. Berkurangnya rasa malu merupakan pertanda dari matinya hati dan ruh orang tersebut. Semakin sehat suatu hati maka akan makin sempurna rasa malunya.

Hakikat rasa malu adalah suatu akhlak yang mendorong untuk meninggalkan hal-hal yang buruk dan kurang memperhatikan haknya orang yang memiliki hak.

Rasa malu itu ada dua macam. Yang pertama adalah rasa malu kepada Allah. Artinya seorang hamba merasa malu jika Allah melihatnya sedang melakukan kemaksiatan dan menyelisihi perintah-Nya. Yang kedua adalah rasa malu dengan sesama manusia.

Untuk rasa malu dengan kategori pertama, Nabi jelaskan dalam sabdanya, “Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya”. “Kami sudah malu duhai Rasulullah”, jawab para sahabat. Nabi bersabda,

لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْتَذْكُرْ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ

“Bukan demikian namun yang dimaksud malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah menjaga kepala dan anggota badan yang terletak di kepala, menjaga perut dan anggota badan yang berhubungan dengan perut, mengingat kematian dan saat badan hancur dalam kubur. Siapa yang menginginkan akhirat harus meninggalkan kesenangan dunia. Siapa yang melakukan hal-hal tersebut maka dia telah merasa malu dengan Allah dengan sebenar-benarnya.” (HR. Tirmidzi dll, dinilai hasan karena adanya riwayat-riwayat lain yang menguatkannya oleh Al Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir no. 935)


Dalam hadits ini, Nabi menjelaskan bahwa tanda memiliki rasa malu kepada Allah adalah menjaga anggota badan agar tidak digunakan untuk bermaksiat kepada Allah, mengingat kematian, tidak panjang angan-angan di dunia ini dan tidak sibuk dengan kesenangan syahwat serta larut dalam gemerlap kehidupan dunia sehingga lalai dari akhirat.

Rasa malu yang kedua adalah malu dengan sesama manusia. Malu inilah yang mengekang seorang hamba untuk melakukan perbuatan yang tidak pantas. Dia merasa risih jika ada orang lain yang mengetahui kekurangan yang dia miliki.

Rasa malu dengan sesama akan mencegah seseorang dari melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina. Sedangkan rasa malu kepada Allah akan mendorong untuk menjauhi semua larangan Allah dalam setiap kondisi dan keadaan, baik ketika bersama banyak orang ataupun saat sendiri tanpa siapa-siapa menyertai.

Rasa malu kepada Allah adalah di antara bentuk penghambaan dan rasa takut kepada Allah. Rasa malu ini merupakan buah dari mengenal betul Allah, keagungan Allah. Serta menyadari bahwa Allah itu dekat dengan hamba-hambaNya, mengawasi perilaku mereka dan sangat paham dengan adanya mata-mata yang khianat serta isi hati nurani.

Rasa malu kepada Allah adalah termasuk tanda iman yang tertinggi bahkan merupakan derajat ihsan yang paling puncak. Nabi bersabda, “Ihsan adalah beribadah kepada Allah seakan-akan memandang Allah. Jika tidak bisa seakan memandang-Nya maka dengan meyakini bahwa Allah melihatnya.” (HR Bukhari).

Orang yang memiliki rasa malu dengan sesama tentu akan menjauhi segala sifat yang tercela dan berbagai tindak tanduk yang buruk. Karenanya orang tersebut tidak akan suka mencela, mengadu domba, menggunjing, berkata-kata jorok dan tidak akan terang-terangan melakukan tindakan maksiat dan keburukan.

Rasa takut kepada Allah mencegah kerusakan sisi batin seseorang. Sedangkan rasa malu dengan sesama berfungsi menjaga sisi lahiriah agar tidak melakukan tindakan buruk dan akhlak yang tercela. Karena itu orang yang tidak punya rasa malu itu seakan tidak memiliki iman. Nabi bersabda, “Di antara perkataan para Nabi terdahulu yang masih diketahui banyak orang pada saat ini adalah jika engkau tidak lagi memiliki rasa malu maka berbuatlah sesuka hatimu.” (HR. Bukhari)

Makna hadits, jika orang itu sudah tidak lagi memiliki rasa malu maka dia akan berbagai perilaku buruk yang dia inginkan. Ini dikarenakan rasa malu yang merupakan faktor penghalang berbagai tindakan buruk tidak lagi terdapat pada diri orang tersebut. Siapa yang sudah tidak lagi memiliki rasa malu akan tenggelam dalam berbagai perbuatan keji dan kemungkaran.

Nabi bersabda,

الحياء و الإيمان قرنا جميعا فإذا رفع أحدهما رفع الآخر

“Rasa malu dan iman itu terikat menjadi satu. Jika yang satu hilang maka yang lain juga akan hilang.” (HR. Hakim dari Ibnu Umar dengan penilaian ‘shahih menurut kriteria Bukhari dan Muslim. Penilaian beliau ini disetuju oleh Dzahabi. Juga dinilai shahih oleh al Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir, no. 1603)

Salman al Farisi mengatakan,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ عَبْدًا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ فَإِذَا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ رِبْقَةُ الْإِسْلَامِ

“Sungguh jika Allah berkehendak untuk membinasakan seseorang maka akan Allah hilangkan rasa malu dari diri orang tersebut. Jika rasa malu sudah tercabut dari dirinya maka tidaklah kau jumpai orang tersebut melainkan orang yang sangat Allah murkai. Setelah itu akan hilang sifat amanah dari diri orang tersebut. Jika dia sudah tidak lagi memiliki amanah maka dia akan menjadi orang yang suka berkhianat dan dikhianati. Setelah itu sifat kasih sayang akan dicabut darinya. Jika rasa kasih sayang telah dicabut maka dia akan menjadi orang yang terkutuk. Sesudah itu, ikatan Islam akan dicabut darinya.”


Kata kata di atas ada yang menganggapnya sebagai sabda Nabi karena jika dinisbatkan kepada Nabi maka berstatus sebagai hadits palsu, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Umar. Lihat Silsilah Dhaifah karya al Albani no. 3044.

Ibnu Abbas mengatakan,

الحياء والإيمان في قرن ، فإذا سلب أحدهما اتبعه الآخر

“Rasa malu dan iman itu satu ikatan. Jika dicabut salah satunya maka akan diikuti oleh yang lain.” (Diriwayatkan dalam Mu’jam Ausath secara marfu’ dari Ibnu Abbas no. 8548. Namun riwayat yang marfu’ ini dinilai sebagai hadits palsu oleh al Albani dalam Dhaif Jami’ no 1435)


Hadits dan perkataan dua orang sahabat Nabi di atas menunjukkan bahwa orang yang tidak lagi memiliki rasa malu itu tidak memiliki faktor pencegah untuk melakukan keburukan. Dia tidak akan sungkan-sungkan untuk melakukan yang haram dan sudah tidak takut dengan dosa. Lisannya juga tidak berat untuk mengucapkan kata-kata yang buruk.

Oleh karena itu di zaman ini, suatu zaman yang rasa malu sudah berkurang bahkan hilang bagi sebagian orang, kemungkaran merajalela, hal-hal yang memalukan dilakukan dengan terang-terangan bahkan keburukan dinilai sebagai sebuah kebaikan. Bahkan sebagian orang merasa bangga dengan perbuatan tercela dan hina sebagaimana artis yang suka buka-bukaan atau sexy dancer.

Wal’iyadu billah…

Bahaya Ghibah



Awas.. Jangan Berghibah, Jangan Mengumpat, Mengunjing, Dan Menyindir

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan prasangka karena sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. Janganlah kamu sekalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu sekalian berghibah( menggunjing) satu sama lain. Adakah seseorang di antara kamu sekalian yang suka makan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang.” [QS: 49 (al Hujurat) ayat 12.]

Pengertian Ghibah

Ghibah atau menggunjing adalah menyebutkan sesuatu  yang terdapat pada saudaranya ketika ia tidak hadir dengan sesuatu yang benar tetapi tidak disukainya, seperti menggambarkannya dengan apa yang dianggap sebagai kekurangan menurut umum untuk meremehkan dan menjelekkan. Maksud saudaranya di sini adalah sesama muslim. Termasuk sebagai ghibah adalah menarik perhatian seseorang terhadap sesuatu dimana orang yang dibicarakan tidak suka untuk dikenali seperti itu.

Pengertian ini didasarkan  dari penjelasan Rasulullah berikut ini:

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW pernah bertanya: “Tahukah kamu, apakah ghibah itu?” Para sahabat menjawab; ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.’ Kemudian Rasulullah SAW bersabda: ‘Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.’ Seseorang bertanya; ‘Ya Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan? ‘  Beliau berkata: ‘Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu ada padanya, maka berarti kamu telah menggunjingnya. Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah membuat-buat kebohongan terhadapnya.’

Sesuatu yang tidak disukai oleh saudara atau orang lain biasanya menyangkut aib berupa kekurangan atau hal-hal negatif yang ada pada dirinya. Tak seorangpun senang aibnya diketahui orang lain. Membeberkan aib seseorang sama halnya mempermalukannya. Semua perbuatan yang membentuk kesan buruk tentang seseorang dan membiarkan orang lain berkesan buruk kepadanya termasuk dalam kategori ghibah. Aisyah pernah menceritakan seorang isteri nabi lainnya di sisi Nabi SAW dan menyebut-nyebut kekurangannya. Kontan beliau bersabda: “Sungguh engkau telah mengghibahnya.”

Pada umumnya manusia tidak suka kekurangan atau hal-hal negatif yang ada pada dirinya menjadi bahan perbincangan publik. An Nawawi memberikan penjelasan tentang hal-hal yang disebut antara lain: keadaan tubuhnya, agamanya, dunianya, dirinya, akhlaknya, hartanya, anaknya, orang tuanya, isterinya, pembantunya, pakaiannya, gerak-geriknya, raut mukanya, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya. Imam al Ghazali dalam ihya ulumuddin juga berpendapat serupa. Perbincangan pada obyek-obyek tersebut menjadi ghibah bila orang yang diperbicangkan merasa tidak suka.  Perbuatan ghibah bisa dilakukan melalui pembicaraan lisan, tulisan, isyarat, atau dengan bahasa tubuh.

Ghibah dengan pembicaraan lisan bisa terjadi saat berbicara dengan seseorang, sekelompok orang, atau dalam majlis. Ghibah dengan tulisan bisa dilakukan dalam bentuk surat kepada seseorang, tulisan publikasi dalam koran, tabloid, majalah, buku, website, facebook, twitter,  brosur, dll. Ghibah melalui bahasa tubuh bisa dilakukan dengan isyarat, ekspresi wajah, gerakan tubuh tertentu, atau menirukan tingkah laku dan gerak tertentu dari orang yang dipergunjingkan dengan maksud mengolok-olok.

Dalam kehidupan masyarakat saat ini, ghibah juga dilakukan dengan dukungan media masa sehingga mempunyai efek yang sangat luas. Kita menyaksikan banyak stasiun radio dan televisi menyajikan acara ghibah yang dikemas dengan cara yang menarik, mendapat apresiasi luas dari masyarakat yang dibuktikan dengan rating jumlah penonton yang banyak. Kita juga mudah mendapatkan koran, tabloid, majalah, brosur yang tulisan-tulisannya mengandung ghibah mempunyai tiras besar,  yang berarti banyak dibeli dan dibaca masyarakat. Ghibah kini telah didukung oleh teknologi informasi lainnya yang canggih seperti handphone,  telekonferen, audiostreaming, videostreaming, jejaring sosial facebook, twitter,  dan lain lain lagi...

Bagaimana halnya dengan orang yang hanya mendengarkan orang lain ber-ghibah? Mau mendengarnya berarti membiarkan orang lain berbuat mungkar, yakni melanggar larangan Allah ber-ghibah. Rasulullah memerintahkan kita bila melihat kemungkaran hendaknya merubah dengan kekuasaan, lisan, atau hatinya. Yang paling utama dengan kekuasaan. Bila hanya mampu dengan hati, imannya dalam  kondisi yang selemah-lemahnya.

Mampu menghentikan pembicaraan ghibah berarti telah merubah kemungkaran dengan kekuasaan. Menyampaikan bahwa pembicaraan yang terjadi adalah ghibah tetapi tidak bisa menghentikannya adalah merubah dengan lisan. Berlalu dan meninggalkannya adalah bentuk merubah dengan hati. Ikut terlibat di dalamnya meskipun hanya sebagai pendengar berarti ia setuju terhadapnya dan membiarkannya terus berlangsung. Imannya berada dalam kondisi yang lebih buruk dari selemah-lemah iman. Apalagi bila mendengarkannya dilakukan dengan antusias, ia telah berperan dalam menghidupsuburkan ghibah.

Mendengar,  menonton dan membaca  acara maupun tulisan ghibah apalagi sampai  menggemarinya, termasuk pendukung ghibah. Semakin banyak didengar, ditonton dan dibaca orang acara ghibah menjadi semakin subur. Salah satu ciri orang-orang mukmin yang beruntung adalah kemampuannya meninggalkan perbuatan yang sia-sia. Ber-ghibah bukan saja sia-sia, tetapi termasuk perbuatan mungkar yang wajib dihindari dan ditinggalkan.

Allah menggambarkan orang yang ber-ghibah seperti makan bangkai saudaranya yang telah mati. Membicarakan aib, kekurangan, hal-hal negatif pada orang lain berakibat pada matinya karakter seseorang. Sering disebut sebagai “character assasination”. Citra  dirinya menjadi hancur dan mati seperti bangkai akibat ghibah.

Bahan Ghibah

Hal-hal yang disebutkan dalam ghibah antara lain: keadaan jasmani, yang dipakainya, nasab dan keluarganya, perangai, pekerjaan,  perbuatan, ibadah,  dan hal-hal lain menyangkut cacat, kekurangan atau hal-hal yang bersifat negatif.

Ghibah tentang keadaan jasmani misalnya: menyebut mukanya seperti muka monyet, kepalanya botak,  matanya juling, dahinya nonong, kupingnya perung, tangannya pendek atau panjang, punggungnya bungkuk, perutnya besar, kulitnya hitam atau kuning, belang, kakinya pincang, jalannya menyeret kaki, bicaranya cedal, gagu,  dan segala hal mengenai jasmaninya dimana ia tidak suka disebutkan begitu.

Ghibah tentang yang dipakaiannya: bajunya compang-camping dan banyak tambalannya,  celananya kedodoran, sarungnya terseret-seret, sepatunya pinjaman, kopiahnya bau apek, perhiasannya imitasi,  dll.

Ghibah tentang nasabnya misalnya: ayahnya bermoral rendah, jahat, hina, pedagang asongan, pengemis, bodoh, gembel, atau predikat apapun yang tidak disukainya.

Ghibah tentang keluarganya antara lain dengan mengatakan: isterinya jelek, suaminya pendek, anaknya ediot, kakaknya perampok, adiknya lintah darat, keluarganya berantakan, pamannya hanya tukang sapu, dan lain lain lagi...

Ghibah tentang perangainya antara lain dengan mengatakan: orangnya sombong, pelit, rakus, pemarahan, pengecut, licik, pembual, lemah hati,  pengkhianat, penindas, pendurhaka, tidak sopan, tidak adil, gampang meremehkan, menyepelekan orang karena penampilannya, dll.

Ghibah tentang pekerjaannya: menyebut bahwa pekerjaannya hanya tukang sapu, tukang sol sepatu, babu, dan lain lain lagi...

Ghibah tentang perbuatannya: menyebut bahwa ia tidak berbakti kepada orang tuanya, banyak bicara, banyak makan, pernah mencuri, senang mabuk, bicaranya ngelantur, terlalu banyak tidur, melawan atasannya, dan lain lain lagi...

Ghibah tentang  ibadahnya: suka meremehkan shalat dan zakat, tidak sempurna ruku’ dan sujudnya, tidak berhati-hati terhadap najis, tidak menyerahkan zakat kepada yang berhak, tidak memelihara puasanya dari perkataan cabul atau ghibah, dan lain-lainnya.

Pendeknya, banyak hal bisa menjadi bahan ghibah bila dimaksudkan untuk memperlihatkan sisi jeleknya.

Larangan Berghibah

Dalam al-Qur’an surah al-Hujurat (49) ayat 12 sebagaimana tercantum di atas, Allah melarang ber-ghibah dan menggambarkan pelakunya sebagai pemakan bangkai saudaranya. Di samping itu cukup banyak hadits yang juga melarangnya, antara lain:

Dari Abu Barzah Al Aslamy berkata; Rasulullah SAW bersabda: “Wahai orang yang imannya masih sebatas lisannya dan belum masuk ke hati, janganlah kalian mengghibah (menggunjing) orang-orang muslim, janganlah kalian mencari-cari aurat (‘aib) mereka. Karena barang siapa yang selalu mencari-cari kesalahan mereka, maka Allah akan membongkar kesalahannya, serta barang siapa yang diungkap auratnya oleh Allah, maka Dia akan memperlihatkannya (aibnya) di rumahnya.”


Dari ‘Ubadah bin Ash Shamit berkata: Rasulullah SAW  membaiat kami seperti membaiat kaum wanita atau semua orang: (1) kami tidak boleh menyekutukan Allah dengan apa pun, (2) tidak mencuri, (3) tidak berzina, (4) tidak membunuh anak, (5) tidak ghibah satu sama lain, (6) tidak mendurhakai beliau dalam kebaikan. Barangsiapa diantara kalian melakukan tindakan yang dilarang kemudian hukuman ditegakkan padanya, maka itu adalah kafarat baginya dan siapa yang menunda maka urusannya berpulang kepada Allah, bila berkehendak Ia akan menyiksa dan bila berkehendak Ia akan mengampuni.”

Akibat Ghibah

Ghibah berakibat buruk bagi pelaku dan obyeknya. Berikut ini beberapa hal yang merupakan akibat buruk dari ghibah:

Bagi Obyek Ghibah

Menimbulkan kesan buruk bagi obyek ghibah oleh karena “pembunuhan” pada karakternya. Allah menggambarkan orang yang berghibah sebagai pemakan bangkai saudaranya. Akibat perbuatannya saudaranya menjadi “bangkai”. Pencitraan buruk membuat hati menjadi tidak enak dan semangat menjadi lemah. Orang yang tidak punya semangat tidak mampu berbuat apa-apa. Orang yang tidak bisa berbuat apa apa seperti mayat atau bangkai.

 Bagi yang berghibah:

Mengundang orang lain melakukan hal yang serupa terhadapnya. Sudah menjadi naluri manusia melakukan pembalasan kepada orang-orang yang melakukan kejahatan terhadap dirinya. Orang yang suka berghibah menjadi sasaran ghibah orang lain.

Mengurangi fungsi puasa; sebagaimana hadits dari Abu ‘Ubaidah bin Al Jarrah ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Puasa adalah tameng selama ia belum melubanginya.” Abu Muhammad berkata, “Yaitu dengan menggunjing orang lain.”

Mendatangkan siksa kubur; sebagaimana hadits dari Abu Bakrah, ia berkata: Nabi SAW melewati dua kuburan, lalu beliau bersabda: “Keduanya sedang disiksa, dan mereka disiksa bukan karena dosa besar. Yang satu disiksa karena tidak menjaga kebersihan ketika kencing dan yang lain disiksa karena berbuat ghibah.”

Mendatangkan siksa neraka; sebagaimana hadits dari dari Anas bin Malik ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda: “Ketika aku dinaikkan ke langit (dimi’rajkan), aku melewati suatu kaum yang kuku mereka terbuat dari tembaga, kuku itu mereka gunakan untuk mencakar muka dan dada mereka. Aku lalu bertanya, “Wahai Jibril, siapa mereka itu?” Jibril menjawab, “Mereka itu adalah orang-orang yang memakan daging manusia (ghibah) dan merusak kehormatan mereka.”

Meninggalkan Ghibah

Jelas sekali larangan ghibah. Kita wajib menghindari dan meninggalkannya. Caranya antara lain dengan menghindari orang-orang yang senang berghibah dan menjauhkan mereka dari lingkungan pergaulan kita. Kita pilih orang-orang saleh menjadi sahabat-sahabat dekat kita.

Bila terdengar atau terlihat oleh kita acara-acara yang berisi ghibah di radio atau televisi, segera matikan atau pindah channel yang acaranya baik. Bila pada tabloid, koran, majalah, atau bacaan lainnya berisi ghibah, tinggalkan. Bila ada orang datang kepada kita dan berbicara ghibah, ingatkan dan minta berhenti atau tinggalkan bila tetap saja bicara. Bila dalam majlis pembicara berghibah, ingatkan atau tinggalkan majlis. Insya Allah kita akan selamat.

Bagi orang-orang yang bisa meninggalkan ghibah diberikan kabar gembira, berupa kebebasan dari api neraka sebagaimana hadits dari Asma’ binti Yazid dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Barangsiapa menahan diri dari memakan daging saudaranya dalam Ghibah, maka menjadi kewajiban Allah untuk membebaskannya dari api neraka.” Juga hadits dari Abu Darda’ dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Barangsiapa yang menahan ghibah terhadap saudaranya, maka Allah akan menyelamatkan wajahnya dari api neraka kelak pada hari kiamat.”

Marilah kita jaga mulut, mata, dan semua anggota tubuh  kita dari ghibah!

Wallahul musta’an.


Sifat Anak Durhaka Terhadap Kedua Ibu Bapa





  
Dalam Islam diwajibkan seorang anak itu taat kepada kedua ibu bapanya, mereka wajib menghormati ibu bapanya, tidak boleh bersikap kasar terhadap kedua orang tua mereka.

Tetapi ada juga anak-anak yang lupa daratan, mereka ini adalah tergolong dari anak-anak yang tidak tahu menghormati ibu bapa mereka. Sikap mereka yang kasar sering membuat hati ibu bapa mereka terluka dan terguris.

Anak-anak yang engkar terhadap ibu bapanya adalah anak-anak yang tidak mahu berbuat bakti terhadap ibu bapa mereka. Mereka hanya mementingkan diri sendiri. Mereka tidak pernah ingat bahawa kalau tidak kerana ibu bapa mereka, mereka tidak akan lahir di dunia ini.

Oleh itu anda harus ingat kalau tidak kerana ibu bapa anda tidak akan mengecapi hidup yang senang lenang, seperti yang anda hadapi sekarang ini. Kalau tidak kerana penat jerihnya anda tidak akan menjadi manusia yang disegani dan mempunyai ilmu yang tinggi.

Tidak guna anda berilmu setinggi langit, jika anda tidak dapat membahagiakan ibu bapa anda sebagaimana dia membahagiakan anda semasa anda memerlukan perlindungan darinya.

Sebenarnya ibu bapa itu bukan mahu disanjung-sanjung setinggi langit atau didukung sebagaimana dia mendukung anda semasa kecil atau disuap nasi ke mulutnya, sebagaimana dia menyuapkan anda semasa kecil lagi. Tetapi sudah cukup anda menghormatinya dengan memberi perhatian yang sewajarnya terhadap dirinya ketika mereka memerlukan.

Ibu bapa memang mudah berkecil hati jika anda mengeluarkan kata-kata yang kasar terhadapnya, oleh itu jagalah lidah anda jangan sampai terlanjur berkata kasar terhadapnya. Berlemah lembutlah terhadap mereka, walaupun anda tidak setuju dengan sikap mereka. Berunding dengan baik dalam suasana yang jernih akan dapat satu penelitian yang jujur terhadap apa yang dimusykillan.

Jangan anda tidak setuju terhadap ibu bapa anda terus berkeras dan membentak-bentak, ini durhaka namanya. Anak durhaka tidak akan mendapat rahmat daripada Allah SWT. Oleh yang demikian, waspadalah terhadap tindak- tanduk dan tingkah laku anda untuk menjaga hati orang tua anda.

Lantaran jasa orang tua anda tidak akan dapat anda balas, walau sebanyak mana anda memberi perhatian terhadap mereka. Pengorbanan mereka terlalu besar terhadap anda. Mengapa anda tidak boleh memberi kelapangan kepadanya ? Jika rezaki anda melimpah ruah, anda jangan bakhil membiayainya sedapat mungkin yang boleh. Kerana kekayaan atau rezaki yang anda perolehi itu adalah hasil usahanya juga untuk memberi anda hidup dan berilmu.

Kawallah diri anda untuk menjadi insan yang berguna dan tidak durhaka kepada orang tua anda. Jika tidak kerana mereka anda tidak akan bernafas serta ketawa untuk hari ini. Jika anda membelakangi orang tua bererti anda membelakangi apa yang disuruh oleh Allah SWT. 

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Bahawasanya Allah mengharamkan ke atas kamu semua menderhakai ibu dan menanam hidup anak-anak perempuan, sebagaimana Tuhan mencegahmu untuk menahan pemberian yang perlu diberikan dan Allah tidak menyukai kata-kata yang sia-sia dan membanyakkan pertanyaan dan menyia-yiakan harta.” – Riwayat Bukhari.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW lagi yang diriwayatkan oleh Thabrani yang bermaksud :

“Tiga perkara tiada bermanfaat, lagi bersertanya sesuatu pun iaitu menyengutui Allah SWT dengan sesuatu, mendurhakai ibu bapa dan lari dari medan pertempuran.”


Sabda Rasulullah SAW di atas jelas membuktikan bahawa menderhakai ibu bapa adalah amalan yang dimurkai oleh Allah SWT. Allah tidak akan merestui anak-anak yang derhaka. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Thabrani :

“Dua kejahatan yang dibalas oleh Allah di dunia ini iaitu zina dan derhaka kepada ibu bapa.”


Oleh itu, jika anda mendurhakai ibu bapa, anda telah melakukan maksiat besar yang merupakan dosa besar. Anak yang menderhakai ibu bapanya akan ditolak segala amalannya selagi anak itu tidak meminta ampun dan keredhaan dari ibu bapa mereka.

Anak-anak yang durhaka akan menerima hukuman yang setimpal dari Allah sejak mereka di dunia lagi, mereka hilang kemerdekaan hati dan rasa bersalah sering menghantui mereka. Dan di akhirat juga mereka akan mendapat hukuman yang setimpal. Kerana mereka yang mendurhakai kepada ibu bapa akan dibangkitkan semula di akhirat menyerupai kaldai.


KEUTAMAAN SIFAT MALU

Mungkin kata malu ini sudah tidak asing lagi bagi kita setiap insan. Merasa di zaman ini sudah banyak orang-orang di sekitar kita yang hilang sifat malu, baik itu malu pada diri sendiri, malu kepada Allah, dan bahkan malu kepada orang lain.

Bagaimana keutamaan sifat malu itu bagi kita semua, agar kita dapat mengendalikan diri kita, dan dapat menempatkan sifat malu itu pada tempatnya. Baiklah langsung aja saya jabarkan sedikit ilmu yang saya dapatkan, berikut hadits tentang sifat malu dan maknanya.

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ عقبة بن عمرو الأنصاري رضي الله عنه قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
 [رواه البخاري]

Dari Ibnu Masud, Uqbah bin Amru Al-Anshari Al-Badri r.a, berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya di antara kalimat kenabian pertama yang sampai ke tengah-tengah manusia adalah:‘Jika kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu’.” [Riwayat Bukhari]. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: اَلْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ. “Malu itu semuanya baik.”  (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 54).


Makna hadits yang pertama yaitu, bahwa sifat malu merupakan sesuatu yang menjadi warisan Nabi SAW. yang masih disebarkan dan disampaikan oleh manusia secara turun-menurun, dari generasi ke generasi hingga sekarang.

Hadits ini juga memiliki makna masyhur dan makna perintah. Makna yang masyhur, yaitu jika seseorang tidak malu dengan aib dan tidak merasa khawatir akan kepantasannya dari apa yang ia kerjakan, maka ia akan mengerjakan sesuatu sesuai dengan bisikan dari jiwanya, baik itu hal yang baik maupun yang buruk. Hadits ini mengisyaratkan bahwa yang mencegah seseorang dari perbuatan buruk adalah rasa malunya. Namun, jika rasa malu itu sudah tidak dimiliki lagi, maka ia akan melakukan kesesatan dan keburukan dengan semau hatinya.

Makna perintah, yaitu jika seseorang tidak melakukan sesuatu yang berunsur memalukan dan sejalan dengan norma-norma kebenaran, maka lakukanlah sesukamu.
          
Hadits ini dianggap sebagai salah satu sendi Islam, dikarenakan ada seorang ulama yang mengatakan bahwa hadis ini memuat kelima hukum Islam, yaitu sabda beliau yang berbunyi, "Jika engkau tidak malu, maka lakukanlah semaumu!" Karena semua perbuatan manusia dapat digolongkan ke dalam dua golongan, yang pertama perbuatan yang dapat mengakibatkan malu dan yang kedua perbuatan yang tidak mengakibatkan malu. Termasuk dalam golongan pertama adalah yang diharamkan dan makruh dan termasuk dalam golongan kedua adalah yang diwajibkan, sunah dan mubah.
          
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai keutamaan sifat malu, berikut ini penulis akan menjelaskan pengertian malu, macam-macam malu dan faedah dari malu. Setelah kita mengetahuinya, barulah kita bisa mengerti makna hadits kedua yang mengatakan bahwa malu itu semuanya baik, dan sifat malu itu harus kita miliki dalam kehidupan sehari-hari kita.

Pengertian Malu


Menurut Imam Ibnul Qayyim, Haya’ atau malu berasal dari kata hayah (hidup). Menurut Al-Jurjani, malu adalah mundurnya diri dari sesuatu dan meninggalkannya karena khawatir mendapat celaan di dalamnya. Sedangkan menurut Ibnu Alan, malu adalah akhlak yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perkataan, perbuatan, dan akhlak yang buruk, dengan malu seseorang tidak akan seenaknya sendiri dalam menunaikan hak orang lain. Jadi, malu merupakan suatu sikap untuk menghindarkan diri dari perkataan, perbuatan, dan akhlak yang buruk, karena dengan adanya sifat malu seseorang dapat mengendalikan diri dan tidak bersikap semaunya kepada orang lain. Oleh karena itu, sifat malu dijadikan sebagai warisan Nabi SAW. dan disebarkan dari generasi ke generasi hingga sekarang ini.

Macam Macam Malu

Dan harus diketahui juga, malu yang dimiliki oleh Rasulullah SAW.  terbagi menjadi dua macam yakni, malu gharizi atau pembawaan sejak lahir dan mukhtasab atau yang diusahakan. Beliau amat pemalu dalam pembawaan melebihi pemalunya gadis dalam pingitan, sedangkan di dalam malu yang muktasab beliau berada di puncaknya.Imam Ibnul Qayyim, menuliskan malu memiliki 10 faktor, yaitu:

1) Malu karena melanggar aturan

Malu dalam melanggar aturan ini dimiliki oleh Nabi Adam as. Ketika beliau akan meninggalkan surga. Maka Allah berfirman, “Apakah kami lari dari-Ku, wahai Adam?” Beliau menjawab, “Bukan, duhai Rabbku, tetapi karena aku malu kepada-Mu.” Dan juga malu jenis ini adalah malunya Wahsyi ra. Yang membunuh paman Nabi SAW. yakni Hamzah. Wahsyi berkata, “ Aku selalu menghindari Rasulullah SAW. supaya beliau tidak melihatku, sampai beliau wafat.”

2) Malu karena kurang bersungguh-sungguh

Malu jenis ini, seperti malunya para malaikat yang selalu bertasbih sepanjang siang dan malam, tak pernah beristirahat. Pada hari kiamat mereka berkata,”Maha suci Engkau, kami telah beribadah kepada Engkau dengan tidak semestinya.”

3) Malu karena menghormati

Malu semacam ini, seperti malunya Amru bin Ash kepada Rasulullah SAW. yang tidak pernah memandang Rasulullah SAW. dengan pandangan yang lama. Amru Ash berkata, “Sungguh, dahulu tidak ada yang aku benci daripada beliau SAW. Namun, sejak aku masuk Islam, tidak ada yang labih aku cintai dan lebih terhormat dalam pandangan selain beliau. Dan seandainya aku diminta untuk menyifati beliau, niscaya aku tidak akan mampu. Sebab, aku tidak pernah memandang beliau dengan pandangan yang lama karena rasa hormatku kepada beliau.”
4) Malu karena memuliakan

Ini seperti malunya Nabi SAW. kepada para tamu undangan saat walimah pernikah beliau dengan Zainab. Para tamu berlama-lama duduk bersama beliau. Maka beliau berdiri, beliau malu untuk mengatakan, “Pulanglah kalian!”

5) Malu karena kekerabatan


Seperti malunya Ali bin Abu Thalib ra. Untuk bertanya kepada Rasulullah SAW. perihal madzi. Yang demikian itu karena dia telah menikahi putri beliau. Ali berkata, “Aku seorang yang gampang sekali mengeluarkan madzi. Karenanya aku meminta Miqdad untuk bertanya kepada Nabi SAW. tentang madzi. Miqdad menanyakannya, dan jawab Nabi, “Di dalamnya ada wudhu.”Dalam riwayat lain, “Aku adalah seseorang yang gampang sekali mengeluarkan madzi. Karenannya aku meminta seseorang untuk menanyakannya kepada Nabi SAW. karena dia telah menikahi putri beliau. Orang itu menannyakannya” dan Nabi SAW. menjawab, “Berwudhu dan cucilah dzakarmu!”

6) Malu karena merasa hina dan kecil


Seperti malunya seorang hamba kepada Rabbnya ketika dia menanyainya tentang berbagai kebutuhannya, mengingat hina dan kecilnya diri. Di dalam atsar dari Bani Israil disebutkan bahwa Musa as. Berkata, “Wahai Rabbku, aku benar-benar membutuhkan beberapa perkara dunia, namun aku malu untuk memintanya kepada-Mu , wahai Rabbku!” Maka Allah ta’ala berfirman, “Mintalah kepada-Ku termasuk garam adonanmu dan makanan kambingmu!”

Penyebab malu jenis ini ada dua, yaitu karena orang yang meminta merasa dirinya kecil serta merasa banyak dosa-dosa dan kesalahannya besar, dan karena merasa besarnya yang dimintanya. Juga seperti perkataan sesorang, “Sungguh, aku malu untuk meminta dunia kepada Rabbku, padahal dia yang memilikinya, lantas bagaimana aku meminta kepada yang tidak memilikinya.?”

7) Malu karena cinta


Malu karena cinta ini adalah malu seseorang yang mencintai kepada yang mencintainya, dan rasa malu itu akan muncul apabila mengingatnya dan tidak di dekatnya. Rasa malu itu tergambar dari raut wajahnya yang dia sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Hal ini serupa dengan rasa malu seseorang yang akan bertemu dengan kekasihnya. Oleh karena itu, cinta memiliki pengaruh besar untuk menundukkan diri seseorang di atas seseorang yang menundukkan bandannya.

8) Malu dalam rangka beribadah

Malu seperti ini sama dengan malunya rasa cinta, rasa takut, dan rasa selalu tidak beribadah kepada yang berhak untuk diibadahi. Hal ini juga dikarenakan kedudukan yang dibadahi itu lebih tinggi dan lebih mulia. Ibadah seperti ini akan senantiasa menimbulkan rasa malu kepada-Nya.

9) Malu karena memiliki kemuliaan dan harga diri

Malu seperti ini timbul dari seseorang yang melakukan suatu kebaikan atau memberikan suatu barang yang jauh di bawah kemuliaannya. Walaupun seseorang sudah memberi namun, orang tersebut malu karena dia memiliki harga diri, barang yang diberikan terlalu kecil, dan malu seakan-akan orang yang diberi itu yang meminta.

10)    Malu kepada diri sendiri

Malu seperti ini dimiliki oleh orang yang berjiwa mulia. Malu karena membiarkan dirinya kekurangan dan hina. Seseorang malu kepada dirinya sendiri, tentunya dia lebih malu kepada orang lain.Para ulama pun membagi malu itu menjadi dua bagian, yaitu :

1) Malu kepada Allah

Artinya seorang hamba merasa malu jika Allah melihatnya sedang melakukan kemaksiatan dan menyelisihi perintah-Nya. Dalam hal ini orang tersebut memiliki rasa muraqabah, yaitu yang bersangkutan merasa bahwa Allah subhanahu wa ta’ala yang maha mengetahui dan maha melihat selalu mengawasi seluruh gerak gerik hamba-hambanya, sehingga yang bersangkutan merasa malu untuk berbuat sesuatu dimana Allah yang maha mengetahui dan maha melihat selalu mengawasi seluruh gerak gerik hamba-hambanya, sehingga yang bersangkutan merasa malu untuk berbuat sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan dan akhlak yang mulia. Rasa malu kepada Allah adalah bentuk penghambaan dan rasa takut kepada Allah. Rasa malu ini merupakan buah dari mengenal betul Allah, keagungan Allah. Serta menyadari bahwa Allah itu dekat dengan hamba-hamba-Nya, mengawasi perilaku mereka dan sangat paham dengan adanya mata-mata yang khianat serta isi hati nurani.Rasa malu kepada Allah adalah termasuk tanda iman yang tertinggi bahkan merupakan derajat ihsan yang paling puncak.

2) Malu kepada sesama manusia

Dalam hal ini seseorang merasa malu terhadap orang lain apabila ia melakukan sesuatu yang tidak bersesuaian dengan norma-norma yang berlaku ditengah-tengah masyarakat atau yang dimana orang banyak dianggap sebagai sesuatu yang tidak lazim. Rasa malu yang kedua ini adalah malu dengan sesama manusia. Malu inilah yang mengekang seorang hamba untuk melakukan perbuatan yang tidak pantas. Dia merasa risih jika ada orang lain yang mengetahui kekurangan yang dia miliki. Rasa malu dengan sesama akan mencegah seseorang dari melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina. Sedangkan rasa malu kepada Allah akan mendorong untuk menjauhi semua larangan Allah dalam setiap kondisi dan keadaan, baik ketika bersama banyak orang ataupun saat sendiri tanpa siapa-siapa menyertai orang yang memiliki rasa malu dengan sesama tentu akan menjauhi segala sifat yang tercela dan berbagai tindak tanduk yang buruk. Karenanya orang tersebut tidak akan suka mencela, mengadu domba, menggunjing, berkata-kata jorok dan tidak akan terang-terangan melakukan tindakan maksiat dan keburukan.

Faedah Malu

Dengan memiliki sifat malu, tentunya akan memiliki manfaat ataupun faedah di dalamnya, di antaranya dapat kita ketahui, yakni :

1) Malu adalah kunci segala kebaikan

Imam Ibnul Qayyim mengatakan bahwa, Akhlak malu adalah akhlak yang paling utama, paling tinggi, paling agung, dan paling banyak manfaatnya. Malu adalah karakter khusus manusia. Dan menurutnya, bagi orang yang tidak memiliki sifat malu, maka orang tersebut tidak lain hanyalah memiliki sisi kemanusiaan seperti daging, darah dan badan kasarnya, serta tak akan ada kebaikan yang datang kepadanya. Faktor yang mendorong seseorang untuk berbuat baik adalah agama, yang dijadikan sebagai harapan untuk menghadapi kesudahan yang baik, dan dunia, yang berarti rasa malu seseorang kepada sesamanya. Bagi orang yang memiliki rasa malu maka ia akan melakukan kebaikan.

2) Malu adalah akhlak yang dicintai Allah

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi SAW. bersabda: “Sesungguhnya Allah Mahamalu dan Maha Menutupi aib. Dia menyukai (akhlak) malu dan (perbuatan) menutup aib...”

Oleh karena itu, kita harus memiliki sifat malu itu, agar kita senantiasa dicintai oleh Allah.

3) Malu adalah salah satu sifat Allah

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala Maha Pemalu lagi Maha Pemurah, Dia malu jika seseorang mengangkat kedua tangannya (memohon) kepada-Nya, lalu dia mengembalikan keduanya kosong sia-sia.”

Malunya Allah adalah malu yang tidak dapat ditangkap oleh pikiran dan tidak diketahui prosesnya oleh akal. Ia adalah malu kemurahan, kebaikan, kedermawanan, dan keagungan. Sesungguhnya Dia Maha Pemalu yang malu kepada hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya kepada-Nya lalu Dia mengembalikannya kosong, yang malu untuk menyiksa orang yang beruban yang ubannya tumbuh di dalam Islam.

4) Malu adalah akhlak semua Nabi


Sama halnya dengan hadits utama tentang keutamaan sifat malu, yakni dari Ibnu Masud, Uqbah bin Amru Al-Anshari Al-Badri r.a, berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya di antara kalimat kenabian pertama yang sampai ke tengah-tengah manusia adalah:‘Jika kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu’.” [Riwayat Bukhari].

Maka, sifat malu merupakan warisan para Nabi SAW. Ini menunjukkan bahwa, kenabian terdahulu mengajarkan hal ini, dan menjadikan sesuatau yang termasyhur di antara manusia hingga sampai ke awal umat ini.

Contoh malunya para Nabi di antaranya, malunya Nabi Adam.  

Hasan menyatakan bahwa Ka’ab meriwayatkan sabda Nabi SAW. yang berbunyi, “Sesungguhnya Adam as. Adalah seorang yang tinggi seperti pohon kurma yang buahnya tidak terjangkau oleh yang memetik buahnya dan berambut lebat. Setela terjadinya kejadian itu, auratnya terlihat. Dia tidak pernah melihatnnya sebelumnya. Adam pun berlari dan tiba-tiba kepalanya disambar oleh sebatang pohon surga. “Lepaskan aku!” pintanya. ‘Aku tidak akan melepaskanmu!” kata pohon itu. Allah bertanya, “Apakah kamu lari dari-Ku?” Adam menjawab, “Duh Rabbku, tidakkah aku malu kepada-Mu?” Kemudian Allah berfirman, “Seseorang yang beriman akan malu kepada Rabbnya atas dosa yang dilakukannya.” Setelah itu Adam mengetahui segala puji bagi Allah jalan keluarnya. Adam tahu bahwa jalan keluarnya adalah istighfar dan taubat kepada Allah.”

5) Malu akan membantu seorang hamba untuk menjauhi berbagai kemaksiatan. Bahkan semua kemaksiatan akan ditinggalkannya karena malu kepada Allah.


6) Malu akan menjaga seseorang dari aib di dunia dan di akhirat.

Sebab, malu menciptakan tirai dan hijab antara seseorang hamba dengan faktor-faktor aib di dunia dan di akhirat.

7) Malu akan menjadikan seorang hamba senantiasa taat kepada Allah Jalla wa ‘Ala

Jika seseorang telah melihat dan merasakan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. yang tidak terhitung nilainya, maka seseorang tersebut akan taat kepada Allah dan semakin bertambah rasa syukurnya.

8) Malu akan menjadikan seseorang berwibawa.

Sebab,seseorang yang malu tidak akan melakukan suatu perbuatan yang menjatuhkan muruahnya dan tidak akan menyakiti orang yang seharusnya dihormatinya.

9) Malu adalah perhiasan yang paling indah

Mengapa malu dijadikan sebagai perhiasan yang paling indah dibandingkan dengan perhiasan-perhisan yang nampak dan yang dipakai oleh manusia? Jawabannya dapat kita lihat pada hadits berikut ini.

Anas bin Malik menyatakan bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Tidaklah (perkataan atau perbuatan) keji itu menyertai sesuatu sama sekali, kecuali membuatnya buruk, dan tidaklah malu itu menyertai sesuatu sama sekali, kecuali membuatnya indah.”Ath-Thayyibi berkata, “Dengan pernyataan di atas Rasulullah SAW memberitahukan bahwa akhlak-akhlak tercela adalah pangkal dari segala keburukan, bahkan ia adalah keburukan semuanya, dan bahwa akhlak-akhlak terpuji adalah pangkal dari segala kebaikan, bahkan ia adalah kebaikan semuanya.”Dari sinilah, “Iman itu telanjang, pakaian takwa, dan perhiasan adalah malu.”

10) Malu adalah Iman

Hal ini dapat kita lihat dari sebuah hadits, Ibnu Umar menyatakan bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Malu dan iman itu dua sejoli. Jika salah satunya diangkat, maka yang satunya pun terangkat.”
  
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa, malu adalah bagian dari Iman, dan iman adalah malu. Kedua unsur ini dijadikan satu kesatuan yang saling melengkapi, karena apabila seorang itu beriman berarti dia pun malu untuk melakukan suatu hal yang memalukan atau pun buruk dan semakin banyak melakukan hal-hal kebaikan. Sehingga dari hadits yang kedua dapat menjelaskan bahwa, malu itu semuanya baik bukan malah memalukan kita.

Agar kita memiliki sifat malu ini, maka ada beberapa kiat yang bisa kita ikuti, di antaranya:

1) Menahan diri dari perkataan dan perbuatan yang ditimbulkan oleh kurangnya rasa malu

2) Secara berlanjut menelaah kembali keutamaan akhlak malu dan mengulang-ulangnya di   dalam hati.

3) Memperkuat iman dan akidak di dalam hati. Sebab malu adalah iman dan makrifah kepada Allah.

4) Beribadah dengan merenunggkan nama-nama Allah, Asma’ul Husa.

5) Membiasakan diri dengan beribadah fardhu dan sunnah.

6) Selalu jujur, sungguh-sungguh berusaha untuk jujur, dan menjuhi berkata bohong.

7) Membiasakan diri untuk malu meski dengan memaksa diri setahap demi setahap sehingga diri  pun terbiasa dan manjadi satu karakter dan citra diri.

8) Bergaul dengan orang-orang yang shalih, memandang mereka, mendengar ucapan mereka, dan mengambil manfaat dari kehidupan mereka.

9) Menghayati rasa malu yang dimiliki oleh manusia utama, Rasulullah dan menelaah perjalanan hidup beliau.

10) Menjauhi lingkungan yang rusak dan berwabah, yaitu lingkungan yang menghalangi tumbuhnya akhlak terpuji, menghindari orang-orang yang tidak punya malu, dan memilih teman yang baik, yang bisa dijadikan contoh atau teladan yang baik.


Apa Yang Rasulullah Ajar Tentang Diam?





Bicara dan diam laksana dua sisi dari sekeping mata wang, yang tidak mungkin dipisahkan. Kedua-duanya adalah nikmat Allah yang amat besar yang diberikan kepada umat manusia. Dengan berbicara, manusia boleh berinteraksi sesama mereka dan menjadi makhluk yang termulia di antara makhluk-makhluk Allah yang lainnya. Oleh kerana itu, secara jelas Allah Taala berfirman di dalam al Quran : عَلَّمَهُ الْبَيَانَ

“(Allah) Mengajarkannnya (kepada manusia) pandai menerangkan (berbicara).” (Rahman:4)

Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah saw telah bersabda;

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ


“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetamunya.” (riwayat Bukhari)

Kalimah, “...Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat”, maksudnya adalah sesiapa beriman dengan keimanan yang sempurna, yang (keimanannya itu) menyelamatkannya dari azab Allah dan membawanya mendapatkan redha Allah,

 “...Maka hendaklah ia berkata baik atau diam” kerana orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya tentu takut kepada ancaman-Nya, mengharapkan pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Dan yang terpenting dari semuanya itu ialah mengendalikan gerak-geri seluruh anggota badannya kerana kelak dia akan dipertanggungjawabkan atas perbuatan ke semua anggota badannya, sebagaimana tersebut pada firman Allah:

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً

“Dan janganlah kamu menurut sesuatu yang tiada dalam pengetahuan (ilmu). Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya kelak pasti akan dimintai tanggung jawabnya.” (al-Israk:36)


Dan firman-Nya lagi:

مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Apapun kata yang terucap pasti disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid.” (Qaff:18)

Rasulullah saw pernah ditanya tentang siapakah sebaik-sebaik seorang Muslim itu, maka jawab baginda Nabi:


مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“(Mereka) yang memberikan rasa aman kepada saudara Muslim-nya daripada gangguan lisan dan tangannya.” (riwayat Bukhari)


Sebenarnya di sebalik sebuah ucapan itu tersimpan sebuah tanggungjawab besar yang bakal dipersoalkan Allah di akhirat kelak. Oleh kerana itu, kita harus berwaspada dalam setiap tutur kata, ia boleh sahaja menjadi faktor yang mampu mengangkat darjat seseorang hamba di sisi Allah, ia juga boleh menyebabkan kecelakaan besar kepada pengungkapnya. Rasulullah saw bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَرْفَعُهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ

“Seorang hamba yang berbicara mengenai sesuatu perbicaraan yang termasuk dalam keredhaan Allah, sedang dia tidak sedarinya; namun dengan sebab satu kalimat itu Allah menaikkan martabatnya beberapa darjat. Adapun mereka yang berbicara mengenai suatu perkara yang termasuk dalam kemurkaan Allah, sedang dia tidak sedarinya; dengan sebab satu kalimat itu buruk itu dia dimasukkan ke dalam neraka Jahannam.” (riwayat Bukhari)

Terdapat athar menyebutkan:

أَكْثَرُ خَطَايَا ابْنِ آدَمَ فىِ لِسَانِهِ

“Kebanyakan dosa anak-anak Adam itu ada pada lisannya.” (riwayat al-Tabarani)


Apabila Rasulullah saw bersabda:

فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ


“...Maka hendaklah ia berkata baik atau diam”, ini menunjukkan bahawa perkatan yang baik itu lebih utama daripada diam, dan diam itu lebih utama daripada berkata buruk. Berkata baik dalam hadis ini mencakup menyampaikan ajaran Allah dan Rasul-Nya dan memberikan pengajaran kepada kaum Muslimin, amar makruf dan nahi mungkar berdasarkan ilmu, mendamaikan orang yang berselisih pendapat, berkata yang baik kepada orang lain. Dan yang terbaik dari semuanya itu adalah menyampaikan perkataan yang benar di hadapan orang yang ditakuti kekejamannya atau diharapkan pemberiannya.

Islam menjelaskan bagaimana seharusnya memanfaatkan kedua-dua potensi itu, iaitu bercakap dan diam, agar manusia benar-benar mampu memanfaatkan untuk berbicara sehari-hari sehingga ia menjadi jalan kebaikan bagi penuturnya. Dan kalau tidak mampu, maka lebih baik diam. Dan bagi yang mampu untuk diam pula, tetapi menolak untuk mengucapkan kebenaran, ia adalah “Syaitan yang bisu”. Kata Abu Ali al-Daqqaq rhm:

الْمُتَكَلِّمُ بِالْبَاطِلِ شَيْطَانٌ نَاطِقٌ وَالسَّاكِتُ عَنِ الْحَقِّ شَيْطَانٌ أَخْرَسُ

“Orang yang berkata batil adalah Syaitan yang berbicara, sedangkan orang yang diam dari mengatakan kebenaran adalah Syaitan yang bisu.”


Oleh kerana itu, sikap berdiam juga boleh memberikan kesan sampingan yang bermacam-macam dan nilai impaknya mampu memberikan petanda murka daripada Allah Taala. Ada yang dengan diam ia menjadi emas, tetapi ada pula dengan diam ia menjadi masalah. Semua bergantung kepada niat cara situasi dikendalikan pada diri dan lingkungannya. Kata Imam Ahmad ibn Hanbal di dalam Bayna Mehnah al-Din wa Mehnah al-Dunya:

إذا سكت العالم تقية، والجاهل يجهل، فمتى يظهر الحق

“Kalau diam orang alim kerana taqiyah (playsafe), dan orang jahil terus jahil, maka bilakah kebenaran itu akan tertegak?”


Untuk mencapai kebaikan Islam, seseorang tidak cukup hanya berdiam sedangkan anggota tubuhnya yang lain melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah Taala. Namun, ia harus juga harus “diam” yakni meninggalkan perkara-perkara yang tidak bermanfaat dan diltegah Allah baginya. Rasulullah saw bersabda:

مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ

“Di antara kebaikan Islam seseorang itu iaitu meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (riwayat al-Tirmizi
)

Bagi orang yang beriman, lidah yang dikurniakan untuk menyampaikan tujuan-tujuan komunikasi sesama manusia tidak akan digunakan untuk berbicara sesuka hati dan sia-sia. Sebaliknya digunakan untuk mengeluarkan mutiara-mutiara yang berhikmah, nasihat-nasihat yang membetulkan perjalanan hidup manusia. Manakala, peranan diam pula dijadikan benteng bagi lidah manusia daripada mengucapkan perkataan yang sia-sia atau yang tiada keperluannya. Diam memiliki faedah dan syarat kondisionalnya tersendiri. Apa yang penting adalah kita mengetahui waktu-waktu yang tepat untuk mengambil diam sebagai sikap ketika berinteraksi dengan orang lain. Diam boleh menjadi kebiasaan efektif yang apabila ia diterapkan dalam diri, ia mampu menjadikan kita lebih produktif. Iaitu membiasakan diam, lebih banyak mendengar daripada berbicara dengan memperbanyakkan kerja. Sabda Rasulullah saw:

إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلَاثًا؛ قِيلَ وَقَالَ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ

“Sesungguhnya Allah membenci kalian tentang tiga perkara, iaitu; mengatakan sesuatu yang tidak jelas sumbernya, menyia-nyiakan harta dan banyak bertanya (tanpa ada keperluan).” (riwayat Muslim)


1. Hikmah Berdiam

Sebagai ibadah tanpa bersusah payah. Menjadi perhiasan tanpa berhias. Memiliki kehebatan tanpa kerajaan. Membina benteng tanpa pagar. Mempunyai kekayaan budi tanpa meminta maaf kepada orang. Memberi istirehat bagi kedua Malaikat pencatat amal. Menutupi segala aib dan masalah.

Antara hadis mengenai kelebihan diam diriwayatkan oleh Abu Nuaim di dalam Hilyat al-Auliya:

وَمَنْ كَثُرَ كَلَامُهُ كَثُرُ سَقَطُهُ، وَمَنْ كَثُرَ سَقَطُهُ كَثُرَتْ خَطَايَاهُ، وَمَنْ كَثُرَتْ خَطَايَاهُ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ


“Dan siapa yang banyak perkataannya nescaya banyaklah silapnya. Siapa yang banyak silapnya, nescaya banyaklah salah (dosanya). Siapa yang banyak berlaku salah, neraka lebih utama baginya.”
 (al-Iraqi menyebut bahawa hadis ini dhaif)

Bersikap diam juga suatu kebijaksanaan dan keadilan, ilmu dan pengetahuan, bahkan merupakan akhlak yang mampu mendidik masyarakat awam daripada terjerumus ke dalam lembah kekeliruan yang lebih parah. Rasulullah saw pernah menyatakan kepada Abu Zar ra:

عَلَيْكَ بِطُولِ الصَّمْتِ فَإِنَّهُ مَطْرَدَةٌ لِلشَّيْطَانِ، وَعَوْنٌ لَكَ عَلَى أَمْرِ دِينِكَ

“Hendaknya engkau diam, sebab diam itu menyingkirkan syaitan dan penolong bagimu dalam urusan agamamu.” (riwayat al-Baihaqi)


Semoga Allah merahmati Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra, ketika beliau berkata:

إن السابقين عن علم وقفوا، وببصر نافذ قد كفوا، وكانوا هم أقوى على البحث لو بحثوا

“Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu (Salaf al-Soleh) itu berhenti (tidak bersikap melampau) di atas dasar ilmu, mereka memiliki penelitian yang tajam (menembus) namun adakalanya mereka menahan dirinya (dari meneruskan sesuatu perbahasan) sekalipun mereka lebih mampu dalam membahas sesuatu perkara jika mereka ingin membahasnya.” - Bayan Fadhli Ilmi Salaf


2. Diam Juga Boleh Mengundang Fasad

Terdapat dalam sebuah hadis yang berbunyi (terjemahannya), “Barangsiapa melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dan mencegahnya dengan menggunakan tangannya (kuasa), sekiranya ia tidak mampu maka hendaklah ia menggunakan mulutnya, sekiranya ia tidak mampu juga maka hendaklah ia menggubah dengan menggunakan hatinya. Sesungguhnya mengubah dan mencegah perbuatan mungkar dengan menggunakan hati itu adalah tanda selemah-lemah iman.” (Riwayat Muslim)

Justeru, tidak mengubah dan mencegah sesuatu kemungkaran adalah tanda tiada iman atau hampir kepada kekufuran. Jika dilihat daripada hadis di atas, Nabi Muhammad saw menggunakan pendekatan yang sangat berhemah dalam mengkategorikan seseorang Muslim itu kepada tiga peringkat. Bagaimanapun, selalu sangat disalah-tafsirkan kategori yang terakhir itu sebagai mendiamkan diri atau tidak melakukan apa-apa usaha untuk mengubah kemungkaran tersebut. Maka mengatakan kategori yang terakhir dalam melunaskan kerja untuk mencegah kemungkaran sebagai “diam” adalah suatu kesilapan, kerana diam tidak boleh dijadikan ukuran salah atau betul.

3. Mendengar & Melaksanakan Apa yang Baik itu Lebih Utama

Lazimnya, orang yang terlalu banyak berbicara (berkata-kata) adalah orang yang lemah keperibadiannya. Ciri-ciri orang cerdik menurut Islam yang disebutkan al Quran adalah orang yang mendengarkan perkataan orang lain dan melaksanakan apa yang terbaik daripada perkataan itu (al-Zumar:18):

الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ

Orang pandai yang suka mengambil perhatian yakni mendengar dengan baik apa yang dikatakan oleh orang lain akan disukai. Sebahagian manusia lebih gemar untuk perkataannya didengar, diambil peduli daripada dia mendengar bicara orang lain. Ada orang yang mempunyai kebiasaan berbicara dahulu, baru berfikir. Kerana itu, diam menunjukkan kekuatan keperibadian seseorang. Kemampuan mendengar adalah kekuatan keperibadian yang luar biasa besarnya. Kata Jaafar al-Sadiq ra:

لِسَانُ الْعَاقِلِ وَرَاءَ قَلْبِهِ، وَقَلْبُ الْأَحْمَقِ وَرَاءَ لِسَانِهِ

“Lisan orang yang berakal itu ada di belakang hatinya, dan hati orang bodoh itu ada di belakang lisannya.”

Orang yang berakal selalu mempertimbangkan terlebih dahulu apa yang akan dilontarkan dalam bicaranya, sedang orang yang bodoh sering memperkatakan apa sahaja yang terlintas di dalam hatinya tanpa memikirkan akibat yang mungkin timbul daripada ucapannya itu. Sebaiknya kita harus benar-benar yakin bahawa apa yang akan disampaikan adalah sesuatu yang sudah difikirkan. Kurangilah perkataan-perkataan yang muncul secara refleks. Biasakanlah diam atau merenung, maka kita akan menjadi produktif dalam hidup. Diam bukan dalam erti kita sama sekali tidak berbicara, melainkan diam dalam erti hanya berbicara jika ada keperluan untuk itu. Ada mekanisme lain juga yang telah ditunjukkan di dalam al Quran :

وَقُولُواْ لِلنَّاسِ حُسْنًا

“Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (al-Baqarah:83)

فَارْزُقُوهُم مِّنْهُ وَقُولُواْ لَهُمْ قَوْلاً مَّعْرُوفًا

“Berilah mereka dari harta itu (kepada anak-anak yatim) dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (al-Nisa':8)

فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُواْ قَوْلاً سَدِيدًا

“Oleh itu hendaklah bertaqwa kepada Allah, dan hendaklah mengatakan perkataan yang betul (menepati kebenaran).” (al-Nisa':9)

أُوْلَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُل لَّهُمْ فِي أَنفُسِهِمْ قَوْلاً بَلِيغًا

“Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Kerana itu berpalinglah dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas dalam jiwanya.” (al-Nisa':63)


وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا

“Dan katakanlah kepada mereka (kedua ibu bapa) perkataan yang mulia (yang bersopan santun).” (al-Israk:23)

فَقُل لَّهُمْ قَوْلاً مَّيْسُورًا

“Maka katakanlah kepada mereka kata-kata yang menyenangkan hati.” (al-Israk:28)

وَقُل لِّعِبَادِى يَقُولُواْ ٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ إِنَّ ٱلشَّيْطَـٰنَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ ٱلشَّيْطَـٰنَ كَانَ لِلإِنْسَـٰنِ عَدُوًّا مُّبِينًا

“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku; Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (al-Israk:53)

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِن صَوْتِكَ إِنَّ أَنكَرَ الأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

“Dan sederhanakanlah langkahmu semasa berjalan, juga rendahkanlah suaramu (semasa berkata-kata), sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keldai.” (Luqman:19)


Al-Quran menunjukkan kepada kita tentang pilihan dalam berbicara, qaulan makrufan, qaulan kariman, qaulan maysuran, qaulan sadidan dan qaulan balighan, yakni pembicaraan yang disertakan perkataan-perkataan yang baik, tepat dan membekas dalam jiwa.

Justeru, mekanisme mana lagi yang lebih baik dibandingkan dengan anjuran menguruskan sebarang perbicaraan sebagaimana yang dinyatakan di dalam al-Quran?